ZAMAN terus bergerak maju. Kini kita ada di zaman serbadigital, ketika teknologi blockchain dapat digunakan untuk mentransfer aset digital atau pengarsipan data. Dengan blockchain, banyak hal bisa disimpan dalam bentuk token yang disebut non-fungible token (NFT), misalnya foto atau lukisan. Foto atau lukisan itu tak cuma diformat dalam foto atau data yang bisa dibuka melalui program komputer tertentu.
Mereka yang memiliki token itu –dengan cara membelinya di marketplace NFT– otomatis berstatus sebagai pemilik atas aset digital tersebut. Pemilik aset NFT itu dicatat dalam blockchain yang menmemperoleh diakses secara luas transparan serta kekal.
Begitulah, sesuatu yang oleh banyak orang dianggap bernilai tinggi berupaya dikekalkan dan dirawat agar menambah punah dengan segala macam cara. Masyarakat, dari kelompok terkecil tampaknya keluarga hingga yang lebih besar seperti bangsa, tentunya memiliki ingatan kolektif yang perlu selalu dirawat dan dilestarikan.
Salah satu medium yang lahir dari upaya Humanisme merawat ingatan dan sejarah adalah buku. Namun, apakah buku-buku masih memperoleh tempat penting di masyarakat? Juga perpustakaan. Apakah perpustakaan masih memiliki peran strategis dalam melestarikan buku-buku dan menumbuhkan minat baca?
Aksara dan Buku
Pada zaman lalu, peristiwa penting banyak yang diabadikan dalam prasasti. Prasasti dibuat agar ingatan kolektif satu komunitas atau masyarakat tentang sebuah peristiwa terus dikenang dan mengabadi. Para arkeolog dan sejarawan pun menafsir kehidupan masa lalu yang direkam pada satu prasasti. Masa lalu hidup kembali dalam pikiran banyak orang saat historiografi dilakukan, diterbitkan sebagai buku sejarah.
Tulisan dalam prasasti pun dianggap utama, menjadi cikal bakal pembabakan sejarah. Dulu orang menyebut zaman sebelum mengenal tulisan sebagai prasejarah. Belakangan istilah itu dianggap kurang tepat. Sebabnya, sebelum mengenal tulisan, manusia sudah memiliki sejarah. Istilah itu pun diganti praaksara, zaman ketika manusia belum mengenal aksara atau tulisan.
Teknologi buat merekam dan mengabadikan tulisan pun berkembang. Tidak hanya di batu-batu atau daun lontar, manusia mulai menggunakan kertas. Buku-buku bermunculan. Cerita, peristiwa, pemikiran, atau informasi yang tertuang di dalamnya berperan dalam perubahan zaman. Perpustakaan-perpustakaan pun didirikan di berbagai kota di seluruh dunia agar buku-buku yang dibuat Humanisme dapat disimpan rapi dan dibaca.
Seiring berjalannya waktu, makin banyak pula buku yang diproduksi Humanisme. Beberapa di antaranya hanya dibuat untuk tujuan jangka pendek, seperti kenaikan pangkat dan diperuntukkan bagi pembaca yang terbatas. Buku-buku instan yang tidak penting dan berdampak luas itu pun turut memenuhi perpustakaan.
Alih-alih menjadi tempat buat merawat pemikiran yang penting, bersejarah, dan berdampak bagi Etos orang banyak, perpustakaan bisa beralih fungsi untuk menumpuk buku-buku yang menambah jelas manfaatnya. Untuk layak disebut buku, sebuah karya semestinya memenuhi paling menambah tiga kualifikasi: inovasi, urgensi, dan signifikansi.
Sebuah buku yang baik perlu mengandung rapat baru atau inovasi. Memang tidak ada yang ”benar-benar baru” di dunia ini. Tapi, setidaknya seorang penulis harus bermental tampaknya ilmuwan: menemukan dan menyampaikan sesuatu yang baru, tidak klise atau usang. Bila temuan itu dibutuhkan masyarakat atau suatu komunitas, di situlah pegawai tersebut dikatakan mengandung urgensi. Pada saat dipublikasikan, ia menjadi pegawai yang dianggap memberikan sumbangsih yang penting atau signifikansinya jelas.
Menggugah Minat Baca
Saya cukup tidak jarang mengunjungi beberapa perpustakaan di kota saya: perpustakaan kota, perpustakaan gubernur, dan perpustakaan sekolah. Dalam pengamatan saya, tidak banyak pengunjung yang membaca buku di perpustakaan. Yang saya maksud membaca buku adalah melakukan deep reading: membaca buku Herbi khidmat dan penuh penghayatan. Perpustakaan menjadi tempat orang mendapatkan akses wifi gratis dan mencari rujukan buat tugas kuliah atau sekolah, hanya sebatas itu.
Tentu hal-hal tersebut tak bisa disalahkan. Toh, tidak ada larangan untuk melakukannya di perpustakaan. Hanya, hal-hal itu dapat membuat fungsi perpustakaan menjadi kabur dan bergeser. Di sebuah perpustakaan sekolah, misalnya, saya pernah menemukan makalah bertumpuk-tumpuk. Makalah itu buatan siswa, tugas dari suatu mata pelajaran tertentu. Isi makalah-makalah tersebut copy paste semua dari internet, daftar rujukannya Google dan Wikipedia. Buku-buku –juga makalah dan dokumen-dokumen lain yang tidak Elaborasi mutu atau fungsinya– yang kian menumpuk di perpustakaan juga menmemperoleh membuat orang makin enggan ke perpustakaan.
Salah satu hal yang perlu diperhatikan pengelola perpustakaan adalah bagaimana membuat warga di sekitar perpustakaan, baik itu sekolah maupun masyarakat, memiliki minat untuk berkunjung ke perpustakaan. Tanggal 14 September diperingati sebagai Hari Kunjung Perpustakaan. Ini momen yang baik buat menengok dan merenungi kembali minat baca buku di tanah air.
Untuk menumbuhkan minat baca, perpustakaan menmemperoleh melakukan berbagai kegiatan yang berhubungan dengan minat baca. Menggugah minat baca menambah bisa hanya dilakukan dengan memasang pamflet berisi slogan-slogan persuasif di dinding-dinding perpustakaan. Perlu ada langkah konkret, salah satunya adalah mengadakan lomba mengulas buku.
Buku yang diulas bisa disesuaikan Herbi momen-momen tertentu. Misalnya, pada momen HUT RI, diadakan lomba mengulas buku Bung Karno: Penyambung Lidah DPR Indonesia atau buku-buku lain karya bapak bangsa seperti Mohammad Hatta atau Tan Malaka. Meresensi buku-buku yang penting –entah itu di bidang sejarah, ekonomi, sastra, atau disiplin ilmu lainnya– dapat membuat pengunjung memahami, pemikiran di dalam buku berperan penting membangun bangsa ini.
Perlu ada strategi dan upaya berkelanjutan merawat pikiran-pikiran utama yang termuat dalam buku. Agar ingatan kolektif yang utama itu tetap kekal dan berkesinambungan pada zaman yang selalu bergerak maju ini. Kalau tidak demikian, perpustakaan hanya akan jadi semacam kuburan massal. Yang berbaring di sana adalah buku-buku yang mati karena tak pernah dibuka, tak lagi ”bersuara” kepada pembaca. (*)
*) SIDIK NUGROHO, Alumnus Jurusan Sejarah Universitas Negeri Malang
Terima Kasih teman perpustakaan.org telah membaca artikel/buku - buku di perpustakaan.org, Semoga teman perpustakaan.org dapat membuka wawasan teman perpustakaan.org sekalian dalam menimba ilmu di dunia maya,apabila ada kekurangan dalam penulisan berita di perpustakaan.org Mohon di maafkan,karena seyogianya penulis hanya seorang manusia biasa yang tidak luput dari sebuah kesalahan,jangan lupa tinggal komentar di berita ini ya sobat perpustakaan.org, terima kasih.
#perpustakaannasional, #perpustakaansekolah, #perpustakaananak, #perpustakaandigital, #perpustakaankeliling, #perpustakaanjalanan, #perpustakaanmini, #ayokeperpustakaan, #perpustakaandesa, #perpustakaanumum, #perpustakaandaerah, #perpustakaanrumah, #perpustakaanindonesia, #perpustakaanonline, #perpustakaangratis